Tuesday, October 18, 2011

Kartini Peranakan

“Ibu kita Kartini, Putri sejati, Putri Indonesia, Harum namanya.” Demikianlah kutipan lirik lagu nasional yang sering dikumandangkan setiap 21 april. Lebih dari 100 tahun yang lalu seorang putri bangsa ini mencoba menghapus sistem diskriminatif yang menggekak kaum inferior (perempuan) untuk mengakses pendidikan yang lebih baik.

Raden Ayu Kartini, merupakan sosok gadis belia yang mampu membius mata internasional kala itu. Semangat perjuangan non-diskriminatifnya tertuang cantik dalam setiap surat yang ia kirimkan kesetiap sahabatnya di negeri kincir angin.

Setali tiga uang dengan R.Ay Kartini, semangat untuk memperjuangan akses pendidikan bagi siapa saja tetap berkobar bukan hanya di hati para bumiputera, namun juga bagi warga peranakan tionghoa.

Salah satunya Silvi Calista (19), di tengah moderenisasi serta budaya hidup metropolis yang cenderung individualis, ia muncul sebagai pemerkasa gerakan bimbingan belajar di sekitar universitas Esa Unggul. Tergerak karena perjumpaanya dengan anak-anak dari keluarga pra-sejahtera membuat gadis kelahiran medan, 11 juli 1992 ini menghimpun relawan untuk membuat sebuah rumah singgah bagi anak-anak kurang mampu untuk mengakses pendidikan yang lebih baik.

Kini mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan strata satu ilmu komunikasi ini, memiliki beberapa rumah singgah salah satunya di tempat ia menimba ilmu. Beroperasi setiap hari minggu pukul 14.00-15.30, rumah singgah gratis ini menampung sekitar 70 anak di tingkat sekolah dasar kebawah. Dibantu sekitar 20 relawan kegiatan sosial semacam ini mampu menjadi mitra anak-anak dari keluarga pra-sejahtera untuk dapat mengakses pendidikan lebih baik.

Tidak hanya menitikberatkan pada pendidikan formal saja, Silvi bersama timnya juga kerap melakukan konseling psikologis setiap siswa didiknya yang sebagian besar berasal dari keluarga dengan konflik sosial yang cukup tinggi.

“Disini ada sebagian anak yang tidak mampu bersekolah karena tuntutan ekonomi, disini menjadi tanggung jawab bersama untuk bisa membantu mereka dalam mengakses pendidikan” tutur Silvi saat menjelaskan kondisi bimbingan belajarnya.

Ditengah arus demostrasi rekan sebayanya  untuk menuntut elit politik memperbaiki sistem pendidikan yang layak bagi setiap warga negara, Silvi hadir dengan sebuah karya nyata untuk membuka jendela-jendela pengetahuan bagi mereka kaum papa. Tak ayal jika gadis berparas oriental ini dapat dikatakan sebagai Kartini Peranakan atas semangatnya untuk menghadirkan akses pendidikan bagi kaum inferior.

Monday, September 12, 2011

Belajar Dari Banci


Waria, atau yang populer disebut banci, eksistensinya menjadi sangat marjinal bahkan terkesan hina bagi kalangan umum di Indonesia. Namun sedikit membuka gagasan kita, saya akan mendefinisikan banci sesuai dengan terjemahan bebas yang terdapat di wikipedia; Waria (portmanteau dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan.

Kadang kata ‘banci’ dapat menjadi sebuah bahan olok-olokan atau julukan bagi mereka yang bermental lemah atau penakut. Namun saya memiliki gagasan lain mengenai hal itu, terlepas dari gagasan budaya, religius, dan adat. Secara pemikiran bebas harus saya akui bahwa saya belajar satu kearifan dari sosok yang terkadang membuat saya ngeri karena trauma saat berhubungan sosial dengan mereka.

Mengapa demikian ? tidakkah kita semua berpikir terkadang kita memiliki sesuatu yang sebenarnya ada dalam hati kita, namun kita takut bersuara hanya karena pandangan khalayak luas, kita takut menerima diskriminasi sosial, kita menjadi diam dan mempraktikan sebuah teori komunikasi bernama spiral of silence.

Namun berbeda dengan para kaum transgender itu, meski mereka harus berhadapan dengan cemoohan, diskriminasi sosial, dan kemarjinalan pergaulan, adat dan religius namun mereka tetap lantang menyuarakan kebutuhan biologisnya serta orientasi yang sudah ia pilih. Mereka berani mendobrak tradisi yang statis dan menghakimi.

Saya percaya diantara segelintir kehidupan manusia di dunia ini, waria menempati urutan diatas dalam sebuah kejujuran diri terhadap apa yang ia alami. Saya dedikasikan tulisan ini kepada mereka yang terdiskriminasi atas nama sebuah bias gender dan orientasi seksual. Mereka yang dengan gigih memperjuangkan diri dan kehidupannya mereka ditengah jahatnya diskriminasi yang menghakimi dan menilai tanpa mau memahami. Dan saya rasa kata ‘banci’ bukanlah sebuah julukan yang layak untuk merujuk seseorang dengan sikap mental yang lemah dan penakut.

Jangan bungkam mereka, jangan diskriminasikan mereka. Jika anda berada diposisi mereka seutuhnya anda mungkin tidak akan bertahan sehebat apa yang mereka lakukan. Mari belajar untuk mengerti dan melihat sebuah fenomena sosial sebagaimana adanya. Berhenti menilai, berhenti menghakimi dan berhenti untuk melakukan sebuah diskriminasi.

Kembang Gula dan Mesin Berjalan


Apa arti sebutir permen di mata saya ? atau perasaan apa yang terjadi jika saya menaiki mobil untuk pergi dalam sebuah perjalanan ? rasanya dua hal ini akan saya jawab dengan singkat serta cepat ; ‘BIASA SAJA’. Dan jika saya kembalikan pertanyaan ini keapda anda, mungkin sebagaian besar memiliki jawaban yang hampir serumpun. Lalu apa masalahnya antar sebutir perman dan sebuah perjalanan dengan mobil pribadi ?

Kira-kira sebulan yang lalu saya melakukan liputan untuk sebuah project majalah kampus, disana saya meliput sebuah kegiatan sosial tentang program bimbingan belajar bagi anak-anak dari keluarga pra-sejahtera. Saya mengajak seorang teman saya untuk menemani dan akhirnya dia berniat untuk menjadi volunteer dalam tim tersebut.

Setelah beberapa kali dia mengikuti acara tersebut, ia memiliki banyak cerita yang ia bagikan kepada saya. Banyak hal yang membuat saya ikut terenyuh saat dia menceritakan bagaimana kondisi anak-anak tersebut.

“...kamu tahu kha, ketika aku membawakan beberapa kembang gula untuk mereka? mereka bersorak kegirangan. Sorot matanya bagai kafilah yang menemukan oasis di padang gurun. Hal yang tak pernah ku lihat sebelumnya selama aku menjadi pembina sekolah minggu.”

“suatu ketika saat aku mengajarkan mereka menulis alfabet, seorang anak berbicara kepada ku ; kak, kapan-kapan kakak bawa mobil dong, ajak kita jalan-jalan naik mobil . Apa kamu sadar kha ? itu adalah hal yang sangat sederhana bagi kita, sesuatu yang terkesan sepele, namun itu sangat membahagiakan bagi mereka.”

Cerita yang teman saya sampaikan seolah menyadarkan saya kembali tentang kesenjangan sosial di tatanan masyarakat kita, di tengah kemegahan gedung percakar langit, kecanggihan gadget, serta kenikmatan kiluner yang tersaji di hadapan kita, masih ada banyak potret kemiskinan yang tampak seperti cerita dalam layar kaca.

Hal ini membuat saya kembali teringat tentang sebuah statement teman saya setahun yang lalu saat kita melintasi sebuah pusat perbelanjaan modern dan terkemuka di bilangan Jakarta Barat. “...mungkin ketika kita berada di dalam mall semacam ini, kita seperti Siddharta kecil di dalam istananya. Sulit bagi kita melihat fakta lain dari kemewahan yang tersaji disini.”

Ya, seolah bagai Siddharta kecil yang hanya tahu dunia seluas isatana megahnya, ia tidak paham diluar tembok istana terdapat banyak penderitaan yang ekstrim dengan kondisinya. Bukan kah itu kita ?

Sebuah fakta sosial saya temukan bahwa sebagian dari siswa didik di tempat itu berasal dari keluarga broken home, yang kurang perduli dengan pendidikan. Penghasilan orang tua mereka kurang dari standar sejahtera apalagi jika mengingat bahwa penghasilannya tak menentu. Meski beberapa orang tua perduli akan pentingnya pendidikan, mereka memiliki keterbatasan untuk membuka akses terbaik bagi anaknya dalam memperoleh pendidikan.

Saya kembali bertanya kepada anda, apakah arti sebutir permen bagi anda ? atau perasaan apa yang terjadi jika anda menaiki mobil untuk pergi dalam sebuah perjalanan ? mungkin terkesan sederhana, tapi mungkin cerita tadi mampu membuat anda lebih bersyukur tentang makna sebutir permen dan sebuah kendaraan yang sering anda tumpangi, dan itulah yang saya lakukan, setiap kali saya menaiki sebuah kendaraan yang cukup nyaman, saya selalu teringat kisah di atas dan berpikir bahwa apa yang saya nikmati saat ini adalah berkah. Hidup memang terkesan biasa saja di sekitar kita, namun bukan berarti itu sederhana dalam kehidupan orang lain.

Tuesday, June 21, 2011

Membangun Indonesia

“Kesejahteraan”, rasanya kalimat itu sudah menjadi candu impian bagi bangsa yang konon pernah mencapai puncak kejayaannya sekitar 500 tahun yang lalu di bawah panji-panji bernama Sriwijaya dan Majapahit. Entah apa yang membuat bangsa yang dahulu sempat menjadi pusat studi dunia di bidang rohani, kini menjadi layu akan kemajuan, sarat dengan kemiskinan sosial meski beberapa kalangan menilai bangsa ini seyogyanya mampu mengembangkan sayapnya layaknya sang garuda diatas langit biru.

Tepat setahun yang lalu (2010), saya menyaksikan sebuah pagelaran tarian cantik bernama “Membangun Borobudur”. Bertempat dipelataran candi Sewu, tarian yang menceritakan bagaimana Bhumisan-Bharabudhara ini di bangun. Sebuah konfigurasi mudra bersahut gamlen jawa yang indah, anggun dan kolosal. Tak disangka, dibalik kemegahan Borobudur, terdapat sebuah warisan cerita yang tak kalah megahnya untuk anak-cucu Bangsa ini pelajari.



Bertema wayang orang Buddhis, cerita di mulai dari keinginan seorang raja Syailendra dalam membangun wahana penghormatan bagi Buddha. Keinginan tersebut akhirnya dapat terwujud atas semangat gotong royong setiap elemen kerajaan mulai dari raja hingga rakyat jelata, semua bekerja sesuai dengan kapasitasnya satu sama lain. Dalam pementasan itu juga diceritakan sikap pembangunan Borobudur yang dilakukan dengan segenap hati dan ketulusan, seketika teman saya berbisik ; “mungkin ini penyebab Borobudur masih kokoh hingga sekarang meski sudah lebih dari 1500 tahun”.

Sejenak saya mulai berpikir tentang kondisi Indonesia saat ini, keserawutan menjadi sebuah topline yang tak kunjung tergantikan. Carut marut idealisme dan kepentingan tertentu menjadi sebuah batu sandungan untuk negeri ini berkembang dengan lebih baik. Semangat pluralis yang memudar, kearifan lokal yang semakin terlindas serta semangat gotong royong yang menjadi isapan jempol.

Tarian membangun Borobudur mewariskan sebuah sebuah spirit untuk dapat merefeleksikan bagaimana semangat nenek moyang kita dahulu dalam membangun sebuah peradaban, Borobudur terbangun indah bukan karena jasa Raja Indra, Smaratungga atau Ratu Smaratungga Pramodawardhani, bukan juga karena ide arsitektural dari Guna Dharma. Namun Borobudur dapat berdiri megah atas kontribusi semua pihak yang menjadikannya ada.

Keharmonisan nenek-moyang kita dalam membangun peradaban patut kita contoh jika kita menenggok kondisi saat ini, dimana setiap elit politik berlomba-lomba menduduki kursi panas kepala negara, media massa yang ditunggangi kepentingan politik menjadi toksin pikiran bagi khalayak dan menimbulkan paradigma rakyat tak percaya pada pemerintah, saling sikut menyikut, jauh dari kata harmonis dalam membangun sebuah peradaban bangsa.

Hal yang lebih mencengangkan adalah posisi mahasiswa yang seyogyanya menjadi kaum revolusioner keilmuan, kini hanya menjadi kritikus politik yang terbuai oleh semangat demokrasi sempit atau dalam kata lain disebut demonstrasi. Entah terinspirasi oleh semangat senior-senoirnya pada tahun 1998, namun kurang bijak rasanya bagi mahasiswa sebagai bakal cendikia muda hanya bertindak bagai tikus jalanan, berteriak, membakar ban dan adu jotos dengan petugas keamanan dalam mengisi makna demokrasi dan menjalankan fungsi politiknya. Seolah tindakan tersebut tidak mencerminkan status terpelajar yang di emban para mahasiswa sebagai kaum revolusioner.

Saya tidak menentang sebuah demonstrasi jika memang dilakukan dengan cerdas dan terorganisir baik. Yang patut saya sayangkan adalah bagaimana komunitas keilmuan terpelajar mengunakan fungsi politik bukan pada tataran yang cerdas, dan dengan panji-panji perguruan tingginya, mereka bersohor untuk sebuah demonstrasi konyol tanpa memberikan hasil prima bagi perubahan serta pembangunan bangsa dan negara.

Saya mendengar gagasan Daoed Joesoef yang sejalan dengan pemikiran saya tentang konsep fungsi politik mahasiswa. Dalam lingkup perguruan tinggi, mahasiswa seyogyanya lebih mengedepankan konsep keilmuan sehingga dapat membangun sebuah peradaban modern, ini lebih cerdas daripada sekedar menuntut pemerintah dijalur demonstrasi. Sepatutnya mahasiswa mengunakan fungsi politik dengan mengembangkan 'konsep politik', atau dengan kata lain mahasiswa mampu menciptakan sebuah konsep perpolitikan baru sehingga setelah mereka terjun pasca merampungan pendidikannya mampu menawarkan konsep politik baru yang brilian kepada masyarakat, dibanding sekedar mengkritisir tanpa kontribusi nyata.

Masalah yang terjadi di bangsa ini bukan tanggung jawab pemerintah atau anggota dewan semata, ini masalah kita bersama, maka sudah sepantasnya setiap elemen bangsa dapat berkontribusi nyata sesuai dengan kapasitasnya dalam pembangunan bangsa dibanding sekedar menjadi kritikus. Bangsa ini butuh seorang kontributor nyata dibanding seorang kritikus.

Namun bukan berarti menjadi seorang kritikus bukanlah perbuatan buruk, sebuah kritik dapat menjadi baik dan berfungsi optimal jika kritik itu bukanlah sekedar omongan kosong tanpa jalan keluar, Kritik membangun adalah istilah tepat untuk meringkas itu.

Satu yang harus kita teladani dari sebuah wejangan bijak dari seorang nominator nobel perdamaian bernama Thich Nhat Hanh adalah “Peace in oneself, Peace in the world”, atau dalam penjelasan singkat bahwa kedamaian dunia tidak dapat dicapai tanpa adanya kedamaian dari dalam diri setiap orang yang hidup didalamnya. Hal ini mampu kita refeleksikan dalam bagaimana kita memperjuangkan nilai-nilai keadilan, gotong royong, kedamaian, kebinekkaan dan lain-lain di negeri ini jika kita tidak memulainya dari diri kita sendiri. Percuma jika kita hanya berteriak lantang soal keadilan jika dalam kehidupan sehari-hari kita tidak piawai dalam mengaplikasikan nilai-nilai keadilan.

Dengan mecontoh semangat gotong royong nenek moyang kita dalam membangun sebuah peradaban bangsa, sangatlah mungkin jika kelak anak-cucu kita dapat menikmati sebuah tarian kolosal baru berjudul “Membangun Indonesia”.

Monday, January 24, 2011

Konsumerisme dan Dunia Kita

Jakarta ( 19/1), disela jam makan siang kantor, saya menemui sebuah surat kabar ibukota dengan headline yang membuat saya merasa pilu membacanya. Mengapa tidak ? surat kabar itu mewartakan Tujuh remaja putri setara SMP di Jakarta rela menjual kehormatannya demi dapat mengenggam sebuah gadget canggih nan terkenal bernama Blackberry.

Ini bukan kalih pertama saya mendengar ataupun mengetahui perjuangan seseorang dalam memiliki smartphone yang konon mempengaruhi status sosial pemiliknya. Ada pula kisah tentang remaja putri berseragam SMA di sebuah pusat perbelanjaan yang menangis pada temannya hingga bermaksud meminjam uang untuk menganti Blackberry dari tipe Curve menjadi Bold.

Sepintas mungkin banyak orang yang berkata ini adalah suatu kewajaran dan hak asasi manusia. Namun sadarkah kita bahwa pristiwa diatas mengambarkan sikap mental konsumtif remaja masa kini ? Namun sebelumnya saya harus jelaskan dahulu apa itu sikap konsumerisme, menurut Wikipedia ; konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.

Dan saya rasa sikap mental konsumerisme merupakan masalah kita bersama yang seyogyanya harus kita sadari dan tanggulangi. Perlu saya tegaskan ini bukan masalah dengan sebongkah Blackberry semata, namun dari dua kasus yang berkaitan dengan Blackberry ini kita bisa melihat betapa konsumtifnya kehidupan di sekitar kita. bukan berarti saya menentang pemakaian Balckberry dan mengestimasi penguna ponsel non-Blackberry adalah manusia non-konsumtif.

Di zaman berkembangnya paham kapitalis dimana uang mampu sejajar dengan Tuhan, sikap konsumtif mau tak mau ikut berkembang seiring dengan kemajuan paham tersebut, dapat dikatakan bahwa kapitalisme dan konsumerisme ibarat dua sahabat yang konon selalu bersama. Tidak perlu susah payah saya menjabarkan hal tersebut terlalu rumit. Namun perlu kita sadari bahwa pola hidup kelas eksekutif kini menjadi kiblat dari pola hidup masyarakat modern, hal ini menimbulkan sikap dan pola hectic dalam sendi-sendi kehidupan kita.

Seperti kasus pengunaan Blackberry, mungkin bagi kaum eksekutif, gadget mewah ini adalah sahabat terbaik yang memang berguna secara fungsional dibandingkan nilai prestisiusnya, mereka mengunakan benda tersebut untuk keperluan bisnis yang memang berfungsi efektif. Namun apa yang terjadi saat benda canggih tersebut samapai ditangan penguna yang lebih memaknai hal tersebut sebagai suatu benda prestisius hingga menaikkan pamor pengunanya, atau dalam istilah umum dapat dikatakan ; “kalo gue ga pake BB, ntar di anggap ketinggalan zaman”. Dan itulah tujuh statement serumpun yang saya temukan dari survey kecil-kecilan saya terhadap sepuluh Blackberry user. Jadi dapat disimpulkan tujuh dari sepuluh penguna Blackberry di sekitar kita merupakan korban konsumerisme yang tidak mereka sadari.

Hal ini juga berlaku bagaimana pola pikir kita berangggapan bahwa makan sebuah sushi di mall lebih bermartabat daripada menikmati nasi dan lauk pauk di warteg, atau mengunakan busana branded itu lebih berhebat dibandingkan produk Tanah Abang yang jatuhnya kodian atau lusinan. Sebenarnya hal yang harus kita lakukan adalah kembali eling akan apa yang hedak kita lakukan, apa yang kita gunakan dan apa yang kita konsumsi.

Kita harus mulai menyadari antara kapasitas, nilai fungsional, kemampuan dan kebutuhan dalam mengunakan, membeli, ataupun mengonsumsi suatu produk. Bijak rasanya jika kita mulai terbangun oleh belenggu konsumerisme yang makin hari berkembang di seluruh belahan dunia. Bukan berarti saya mengajak kita semua untuk seutuhnya hidup dalam sikap ekstirm anti benda-benda branded. Namun marilah kita eling akan pola konsumsi kita. Menyadari apa yang baik dan apa yang buruk serta belajar hidup sederhana adalah kearifan universal yang nenek moyang kita wariskan. Sekarang menjadi pilihan setiap masing-masing personal, apaptis akan budaya konsumerisme ? atau mulai sadar dengan pola konsumsi kita baik secara fisik dan mental ? That’s your choice.

(Artikel ini dibuat untuk redaksi majalah Idee - Univ. Esa Unggul Jakarta)